Selasa, 29 November 2011

Suara

 
Pengecut!! Suara itu menuding-nuding dadaku sampai terasa terkapar seperti jangkar yang terlempar. Tapi aku tidak peduli dengan suara itu. Padahal, aku tahu suara itu dari bilik-bilik tersembunyi di dalam lubuk hatiku.

Kemudian suara-suara itu bertalu-talu menimbulkan bunyi-bunyi riuh rendah, ada yang nada ejekannya semakin sinis, intonasinya semakin meninggi, lalu ada yang berbentuk sumpah srapah, bahkan terkahir sedu sedan. Ada suara laki-laki, perempuan, rengekan anak kecil, sampai suara parau lelaki renta. Suara-suara itu begitu mengangguku. Karena tidak bisa kutulikan. Mereka membututiku kemana aku pergi. Ah, enyahlah kalian, suara-suara! 

Hari ini, aku mulai mendengar suara-suara lagi. Mula-mula Cuma suara mendesis pelan, tetapi lama-lama mulai semakin keras. Suara-suara itu bukan lagi seperti dulu. Aku tidak mendengar suara mengejek, marah-marah, memaki, sumpah serapah, atau menangis tersedu-sedu. Yang kudengar justru suara tertawa. Dari suara cekikikan sampai terbahak-bahak.

Kucoba untuk membungkam suara tawa itu dengan berjalan-jalan keliling kota. Mungkin bunyi suara angin bisa membungkamkannya.

Lalu berhari-hari ke depan, semakin aneh. Setiap aku melangkah, aku mendengar suara-suara tawa itu. Semakin lama semakin keras. Menderu-deru seperti angin puyuh. Semakin lama semakin banyak yang tertawa. Semestinya aku bisa saja ikut tertawa. Bukankah tertawa itu adalah pahala? Tertawa adalah lambang kegembiraan. Kenapa aku tidak ikut tertawa saja?

Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Karena kulihat, mulut-mulut di sekelilingku justru sedang terkatup rapat. Tidak ada seorangpun mengeluarkan kata-kata. Kota menjadi sunyi seperti menjadi kota mati. Yang ada hanya suara deru debu jalanan. Mereka, bahkan tidak berbicara satu sama lain. Kalaupun bertemu hanya mengulas senyum, mengangkat alis, atau melengos dengan tatapan datar.

Kosong

Gema itu memanggilku!
Yang kulihat, gema itu bergaung dari gumpalan asap yang berpendar dengan cahayanya yang muram. Kadang membentuk sesuatu, kadang tidak berbentuk, kadang mencari sesuatu.
Ia adalah sesuatu yang gentayangan. Ia berada di sebuah tempat dimana aku banyak sekali berpapasan dengan orang-orang yang hilir mudik, lalu lalang, mondar-mandir dengan bentuknya yang beragam.Namun, mereka sama sekali tidak peduli denganku. Mereka tidak menyapa dan tidak menoleh kepadaku. Mereka saling menyapa, saling memeluk, saling mencium, diantara sesama mereka.Padahal, aku sudah berusaha menggapai, memanggil, dan menyentuh mereka. Apakah mereka tidak melihatku? Kenapa dengan diriku? Bukankah aku juga memiliki yang mereka miliki.?
Dan mendadak saja, aku menemukan diriku kosong di sini. Tetapi, bukankah kosong justru memberiku ruang lebih untuk mengontrol kekosonganku. 
Jangan terbang mengawang. Tetapi kepakkan sayap. Jangan sekedar mengalir. Tetapi berenang mengambang.

Tapi, aku bergerak liar mencari diriku. Dan kudapati diriku enteng seperti sebuah zat yang menguap. Tidak ada satuan-satuan. Tidak ada kepala, tidak ada tangan, tidak ada kaki dan tidak ada kelamin. Aku seperti uap yang menguap dari air laut, air sungai, air got. Lalu mengembun di putik bunga, di ujung bianglala, di ladang ganja. Kemudian berserakan di tirai hujan, menjadi kental di ujung liang. Aku menjadi bagian dari molekul-molekul udara. Tertiup putting beliung yang melebihi kecepatan cahaya kilat. Tersedot besi sembrani dengan magnet berkekuatan jutaan kutub. Menjadi serpihan atom yang dimuntahkan oleh lahar kehidupan.

Sungguh! Aku merasa tertimbun dosa dari himpunan sampah. Seorang teman bernama Imam, mengatakan bahwa aku mencobai Tuhan karena aku mengoceh dengan nada protes kepada Tuhan. Sebagaimana seorang imam, ia bertutur bahwa seyogyanya aku bersyukur atas semua yang diberikan Tuhan kepadaku sepanjang hari. Bukannya hanya bisa mengeluh dan protes atas kesulitan-kesulitan yang melilit berupa tumpukan utang, biaya hidup membengkak, sampai gaya hidup yang tidak jelas. Tidak bisakah mulutmu mengeluarkan pujian untuk Tuhan? Jangan mencobai Tuhanmu, imam menasehatiku agar menjadi perempuan yang santun.

Minggu, 27 November 2011

T.a.k.d.i.r





videokeman mp3
Dear God – Avenged Sevenfold Song Lyrics


Lyrics of Dear God – Avenged Sevenfold

A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love purpose hard to find
While I recall all the words you spoke to me
Can’t help but wish that I was there
Back where I’d love to be, oh yeah

Dear God the only thing I ask of you is
to hold her when I’m not around,
when I’m much too far away
We all need that person who can be true to you
But I left her when I found her
And now I wish I’d stayed
’Cause I’m lonely and I’m tired
I’m missing you again oh no
Once again

There’s nothing here for me on this barren road
There’s no one here while the city sleeps
and all the shops are closed
Can’t help but think of the times I’ve had with you
Pictures and some memories will have to help me through, oh yeah

Dear God the only thing I ask of you is
to hold her when I’m not around,
when I’m much too far away
We all need that person who can be true to you
I left her when I found her
And now I wish I’d stayed
’Cause I’m lonely and I’m tired
I’m missing you again oh no
Once again

Some search, never finding a way
Before long, they waste away
I found you, something told me to stay
I gave in, to selfish ways
And how I miss someone to hold
when hope begins to fade…

A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love purpose hard to find

Dear God the only thing I ask of you is
to hold her when I’m not around,
when I’m much too far away
We all need the person who can be true to you
I left her when I found her
And now I wish I’d stayed
’Cause I’m lonely and I’m tired
I’m missing you again oh no
Once again

Listen to Songs: http://videokeman.com/avenged-sevenfold/dear-god-avenged-sevenfold/#ixzz1ezuvKYEw

Sebuah teka teki

Blackberry Messenger, Yogyakarta, November 2011

Sebentar lagi Malam,
Langit berwarna kelabu. Entah karena memang terang siang telah memudar dan warna senja mulai menebar. Atau karena curahan gerimis bagaikan ranting-ranting patah dari kolong langit. Selalu begitu, bila menjelang malam.
Seakan-akan dingin melengkapi kesempurnaan geliat gelisah dan kerinduan. 
Berpacu dalam desir-desir getaran darah sewarna kirmizi yang tidak mampu kukendalikan. Berlomba dengan rancak hip-hop yang berkumandang.


Lalu kangen itu membanjir
Kangen. Kangen. Kangen.
I am missing you…
…………
Sebentar lagi Malam.
Tidak mudah untuk melupakan.
Juga sulit untuk memaafkan
Kalau cinta, maafkan.
Tapi luka.
Kalau luka, lupakan.
Tapi kecewa.
Maafkan luka, lupakan kecewa.
Is it love? 



 
Aku luka.
Aku suka padanya, sungguh apa adanya. Kenapa ia membuatku luka?
Kalau begitu lupakan!
Aku tidak bisa lupa. Aku tahu ia suka  padaku.
Kalau begitu maafkan..
Tidak bisa! Aku kecewa seperti jangkar yang terkapar.
Kalau suka, memaafkan..
Atau..
Kalau cinta, melupakan..
Semua tidak bisa.
Luka. Cinta. Lupa.
You hurt me.. 
 
Tetapi sekarang yang menguap hanya rasa sepi.
Sepi. Sepi. Sepi.
I am dreaming of you…
Aku tetap sendirian.
Sepi. Sunyi. Senyap.
Where are you?

Pro : .. .. ??
Aih..aih..??
(Semoga selalu ada miracle!) 

Selasa, 15 November 2011

Que Sera Sera


……..
When I was just a little girl I aked my mother, what would I be
Will I be pretty, will I be rich, here’s what she said to me
Que sera sera, what ever will be will be
The future’s not ours to see, que sera sera, what will be will be

(lirik lagu oleh Ray Evans, musik Jay Livingston, menjadi sangat terkenal ketika dinyanyikan Doris Day pada film The Man Who Knew Too Much, 1956.) 

Petikan lirik di atas secara tegas menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara anak dan orang dewasa
Berbeda dari orang dewasa yang sudah mendapatkan apa yang dikehendakinya, anak justru datang mencari apa yang tersedia baginya dan sepanjang jalan perkembangannya bertanya: “akan menjadi apakah saya?” 
Dalam hal ini, orang dewasa sudah selesai, sedangkan anak-anak baru memulai perjalanan hidupnya. Dengan demikian anak dapat disebut sebagai manusia belum jadi, yang sedang dan wajib bertumbuh. 
Pada lirik di atas, perbedaan antara anak dan orang dewasa itu diperuncing oleh sikap fatalis orang dewasa. Sikap itu sesungguhnya merujuk pada pengakuan bahwa masa depan bukanlah milik orang dewasa. 
Karena masa itu, seperti dikatakan Khalil Gibran, adalah milik anak yang “justru lahir untuk merebut kehidupannya” 

Terlepas dari  perbedaan itu, yang jelas masa depan juga ditentukan oleh ilmu. Karena kita tahu keilmuan itu seperti air, dia berbentuk sesuai dengan wadah, tergantung akan dibentuk apa oleh yang punya tempat.
Keilmuan kalau ditempatkan di akal dan pikiran akan menjadi sebuah pengetahuan, dan bila  keilmuan di tempatkan di hati akan menjadi penjaga dan penuntun. 

So..masihkah ada masalah dengan que sera sera saat ini..??

Tentang Buah Pena

Pada sebuah karikatur: ujung bedil dan ujung pena beradu. 
Mana yang kalah..?? Jawabnya; pasti bedil yang kalah dan yang menang adalah ujung pena. Mengapa? Karena bedil cuma berdentum, lalu habis, sedangkan pena berbuah tanpa bunyi dan bisa dinikmati.


Bila pena sudah berbuah, ada yang senang karena disanjung, tapi tak sedikit yang khawatir merasa disindir. Majunya sebuah negeri tidak hanya diukur oleh alat-alat elektronik yang canggih atau komputer yang super. Maju atau “dalam”nya sebuah negeri justru diukur oleh kesusastraannya. 
Inilah kekayaan rohani negeri manapun. Teknik boleh terus maju, tetapi roh harus tetap hidup dan jaya. Roh semacam ini tersembunyi di dalam sastra, perbendaharaan negeri yang harus dipupuk.


Buah pena memang luar biasa. Walaupun berkali-kali dimakan api, dilarang beredar, masuk daftar hitam, atau diapakan saja, sekali lahir, buah pena tak mengenal usia, rohnya tetap hidup. 
Bisakah anda memberikan contoh paling nyata dari buah pena yang entah berapa tahun usianya.??