Pengecut!! Suara itu menuding-nuding dadaku sampai terasa terkapar seperti jangkar yang terlempar. Tapi aku tidak peduli dengan suara itu. Padahal, aku tahu suara itu dari bilik-bilik tersembunyi di dalam lubuk hatiku.
Kemudian suara-suara itu bertalu-talu menimbulkan bunyi-bunyi riuh rendah, ada yang nada ejekannya semakin sinis, intonasinya semakin meninggi, lalu ada yang berbentuk sumpah srapah, bahkan terkahir sedu sedan. Ada suara laki-laki, perempuan, rengekan anak kecil, sampai suara parau lelaki renta. Suara-suara itu begitu mengangguku. Karena tidak bisa kutulikan. Mereka membututiku kemana aku pergi. Ah, enyahlah kalian, suara-suara!
Hari ini, aku mulai mendengar suara-suara lagi. Mula-mula Cuma suara mendesis pelan, tetapi lama-lama mulai semakin keras. Suara-suara itu bukan lagi seperti dulu. Aku tidak mendengar suara mengejek, marah-marah, memaki, sumpah serapah, atau menangis tersedu-sedu. Yang kudengar justru suara tertawa. Dari suara cekikikan sampai terbahak-bahak.
Kucoba untuk membungkam suara tawa itu dengan berjalan-jalan keliling kota. Mungkin bunyi suara angin bisa membungkamkannya.
Lalu berhari-hari ke depan, semakin aneh. Setiap aku melangkah, aku mendengar suara-suara tawa itu. Semakin lama semakin keras. Menderu-deru seperti angin puyuh. Semakin lama semakin banyak yang tertawa. Semestinya aku bisa saja ikut tertawa. Bukankah tertawa itu adalah pahala? Tertawa adalah lambang kegembiraan. Kenapa aku tidak ikut tertawa saja?
Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Karena kulihat, mulut-mulut di sekelilingku justru sedang terkatup rapat. Tidak ada seorangpun mengeluarkan kata-kata. Kota menjadi sunyi seperti menjadi kota mati. Yang ada hanya suara deru debu jalanan. Mereka, bahkan tidak berbicara satu sama lain. Kalaupun bertemu hanya mengulas senyum, mengangkat alis, atau melengos dengan tatapan datar.


