Selasa, 29 November 2011

Kosong

Gema itu memanggilku!
Yang kulihat, gema itu bergaung dari gumpalan asap yang berpendar dengan cahayanya yang muram. Kadang membentuk sesuatu, kadang tidak berbentuk, kadang mencari sesuatu.
Ia adalah sesuatu yang gentayangan. Ia berada di sebuah tempat dimana aku banyak sekali berpapasan dengan orang-orang yang hilir mudik, lalu lalang, mondar-mandir dengan bentuknya yang beragam.Namun, mereka sama sekali tidak peduli denganku. Mereka tidak menyapa dan tidak menoleh kepadaku. Mereka saling menyapa, saling memeluk, saling mencium, diantara sesama mereka.Padahal, aku sudah berusaha menggapai, memanggil, dan menyentuh mereka. Apakah mereka tidak melihatku? Kenapa dengan diriku? Bukankah aku juga memiliki yang mereka miliki.?
Dan mendadak saja, aku menemukan diriku kosong di sini. Tetapi, bukankah kosong justru memberiku ruang lebih untuk mengontrol kekosonganku. 
Jangan terbang mengawang. Tetapi kepakkan sayap. Jangan sekedar mengalir. Tetapi berenang mengambang.

Tapi, aku bergerak liar mencari diriku. Dan kudapati diriku enteng seperti sebuah zat yang menguap. Tidak ada satuan-satuan. Tidak ada kepala, tidak ada tangan, tidak ada kaki dan tidak ada kelamin. Aku seperti uap yang menguap dari air laut, air sungai, air got. Lalu mengembun di putik bunga, di ujung bianglala, di ladang ganja. Kemudian berserakan di tirai hujan, menjadi kental di ujung liang. Aku menjadi bagian dari molekul-molekul udara. Tertiup putting beliung yang melebihi kecepatan cahaya kilat. Tersedot besi sembrani dengan magnet berkekuatan jutaan kutub. Menjadi serpihan atom yang dimuntahkan oleh lahar kehidupan.

Sungguh! Aku merasa tertimbun dosa dari himpunan sampah. Seorang teman bernama Imam, mengatakan bahwa aku mencobai Tuhan karena aku mengoceh dengan nada protes kepada Tuhan. Sebagaimana seorang imam, ia bertutur bahwa seyogyanya aku bersyukur atas semua yang diberikan Tuhan kepadaku sepanjang hari. Bukannya hanya bisa mengeluh dan protes atas kesulitan-kesulitan yang melilit berupa tumpukan utang, biaya hidup membengkak, sampai gaya hidup yang tidak jelas. Tidak bisakah mulutmu mengeluarkan pujian untuk Tuhan? Jangan mencobai Tuhanmu, imam menasehatiku agar menjadi perempuan yang santun.

Aku meradang.
Aku benci! Benci diriku sendiri! Benci langit yang menjadi atapku. Benci bumi yang menjadi lantaiku. Benci hidupku yang becek seperti bubur. Benci tubuhku yang hidup bosan mati pun segan. Apakah aku harus menjadi perempuan manis yang bersujud di atas sajadah menghadap kiblat, membuat tanda salib, bermeditasi,ber-anjali membuat mudra, menyalakan dupa, menghaturkan bunga dengan wadah canang, membakar hio sua dan lilin, untuk bisa berbicara pada Tuhan dengan sopan.
Agar aku selamat dari hukum rajam? Oh! Apakah Tuhan begitu arogan? Dia hanya bersemayam di dalam masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng, mushola, dan Dia tidak mau menoleh kepadaku yang sedang dalam keadaan sekarat terkapar di jalan yang basah karena hujan meleleh dari tingkap-tingkap langit. Apakah Tuhan hanya peduli pada orang-orang yang menjilat-Nya dengan puji-pujian yang sangat santun? Sementara aku yang mencangkung Dia abaikan? Lalu Dia biarkan aku yang miskin, melarat, dihujat oleh orang-orang yang mengenakan pakaian moral? Bukankah Tuhan tahu bahwa aku juga masih punya setitik moral walau hanya seperti setitik embun malam yang membuat aku masih sadar. Apakah itu tidak cukup untuk membuat Tuhan menoleh kepadaku?

Justru karena aku tahu bahwa Dia sangat Maha, maka Dia kujadikan keranjang tempat menumpahkan segala resah gelisah, pepat susah, takut pengecut, karena segalanya akan menjadi kecil karena kemahaan-Nya. Karena dalam tiap hela nafasku selalu menyebut nama-Nya.

Apakah aku salah?
Mendadak langit terbelah dengan bunyi yang bergemuruh. Lidah-lidah petir menyambar sambung-menyambung sampai ke permukaan tanah. Suara guntur seperti ledakan. Cahaya benturan awan-awan yang bermuatan energi elektromagnetik seakan membuka tingkap-tingkap langit. Aku gemetar. Apakah benar Tuhan marah? Apakah benar Tuhan ada di langit tingkat ketujuh? Dan apakah lapis-lapis langit itu terbuka untuk melaknat aku? Aku menciut di pojok pintu. Aku ambruk begitu saja seperti pelepah pisang ditebang.

Take it easy, gumam imam. Kamu sedang kebingungan. Itu adalah reaksi normal semua orang yang mengalami kekosongan pertama kali. Karena kehilangan bentuk. Lambat laun kamu pasti bisa beradaptasi. Kamu harus sadar, kekosongan inilah bentuk! Karenanya kukatakan, jangan terikat dengan bentuk. Kamu tidak bisa memastikan kapan kamu bisa lepas, hilang, lenyap dari wadahmu yang sekarang. Itu semua tidak berarti. Itu semua kosong. Bentuk bisa berubah. Kosong itu tetap.

Semua berubah dengan cepat, dan kemudian lenyap juga dengan cepat. Kabut tak ada. Suara tak terdengar. Bentuk tak terlihat. Tiada rasa dan rupa. Yang tinggal adalah kekosongan.

Tapi aku tidak suka menjadi kosong. Kosong bukan seperti ini. Di dalam tidak ada itu ada. Yang ada itu adalah tiada. Dalam kosong harus membentuk isi. Berisi untuk mengisi kekosongan. Keseimbangan. Ada tiada. Gelap terang. Datang pergi. Hidup mati. Perempuan laki-laki. Yin yang .. seimbang .. harus ada sesuatu di dalam kosong. Harus menjadi sesuatu di dalam kosong. Aku tidak mau kekosongan itu berkuasa atas diriku. Kosong bukan Tuhan. Tetapi Tuhan ada di dalam kosong. Aku harus mencari-Nya. Lalu aku menggeliat dan membentuk, mengisi kosong itu. Aku mencari Yang Maha.

Mengutip bait puisi Sapardi Djoko Damono : Puisi Kecil Tentang Cinta
Aku mengambang menjadi angin, maka aku berkesiur. Aku bergemericik ketika aku mengalir menjadi air. Aku terjal ketika aku menjelma menjadi gunung. Dan aku terbakar jilatan panas ketika aku menjadi api. Lalu aku membubung, melayang, melesat, melebar, meluas menjadi cakrawala, maka segala jarak kutebas!

Kutemukan KAU di dalam aku. KAU yang kucari ternyata ada di dekat aku, dekat dengan diriku, di dalam aku. Aku tidak kosong walaupun aku Cuma seuap gas.

2 komentar:

  1. Melihat langit begitu sempit,
    melihat alam begitu kelam.
    setelah kita mendekat dan melihat kekuasaan MU begitu luas cerah penuh warna,
    itu karna kita jauh dari maha pencipta.

    BalasHapus
  2. Betul. Ternyata.. Engkau jauh, aku jauh. Engkau dekat, aku dekat. Hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa bersatu...(TUHAN by Bimbo). Thx bro.. :)

    BalasHapus