Minggu, 10 Juni 2012

sOn4t4

Do
Adakah kau saksikan aku mendengarkanmu ?
Padahal aku tidak bisa mendengarkanmu. Tetapi aku ingin kau tau bahwa aku sedang mendengarkanmu.
Padahal kau tidak bisa menyaksikan aku sedang mendengarkanmu. 
Tetapi kau bisa mendengarku seperti aku bisa menyaksikanmu.
Baiklah.
Akan kuceritakan saja kepadamu.
Kusaksikan kau melentingkan denting di dalam hening, di dalam sunyi yang meraja.
Bertakhta dengan mahkota sepi. Karena tidak ada sebuah suara pun yang mampu kutangkap.
Tetapi aku mampu menyaksikan kau menusukkan senyap dari matamu, mata tanpa warna.

Re
Jangan lupa, di sini ada yang gelisah.
Di sini sepi. Terlalu sepi sampai menggelisahkan. Bagaimana denganmu ? 
Kurasa kau tidak pernah merasa sepi karena kau punya tuts-tuts yang menciptakan lagu.
Adapun tuts-tuts yang kumiliki selalu bertanya sendiri, menjawab sendiri, berbicara sendiri.
Tetapi sejak mengenalmu, aku jadi suka berbicara padamu, bercerita untukmu, bertanya padamu, menanti jawabanmu. Walau tidak ada satu bunyi pun yang kudengar darimu. Tetapi bukankah kau mendengarku?
Kau tidak perlu melihatku seperti aku melihatmu. Karena aku malu bila kau bisa melihat gelisah di mataku.
Gelisah yang sudah terlalu lelah mendesah. Tentang malam yang semakin terasa panjang dan aku terjebak di dalamnya. Gelisah hendak bercerita padamu. 
Apakah kau juga punya rasa gelisah yang sama?  

Mi
Kuceritakan tentang seorang lelaki yang begitu rajin mengumpulkan reremahan serbuk. 
Itu remuk-remuk yang tak pernah diperhatikan orang. Tetapi dipadatkannya menjadi batang arang yang menebarkan hangat dari baranya. Berwarna hitam kemerahan. 
Seperti hati yang menyimpan kerinduan. Ketika api menyalakannya, ia tidak menghanguskan. Tetapi lebam menjadi merah yang legam. Hanya menimbulkan bunyi gemeretak yang terdengar malu-malu.
Jangan kemana-mana. Jangan ada siapa-siapa. Jangan ada apa-apa.
Hanya kita di sini, diam saja, mendengar suara cinta.
Bukankah di dalam cinta, kebungkaman lebih berarti daripada percakapan ?

Fa
Padamkan nyalanya! Padamkan nyalanya!
Itu suara terakhir yang ditangkap gendang telingaku. Karena setelah itu yang bisa kudengar hanyalah senyap yang merayap. Tidak pelan-pelan. Tetapi langsung menguasai seluruh alam semesta.   
Tidak ada suara angin berciuman dengan dedaunan, tidak ada suara air yang menyentuh bebatuan, tidak ada suara awan yang berpelukan dengan hujan, tidak ada suara kemarahan, tidak ada suara tangisan, tidak ada suara kerinduan. 
Aku menjadi sang sepi yang sendirian. Menjadi maharaja sunyi.
Tapi, taukah kau bagaimana rasanya terbakar ?
Rasanya begitu sepi.
Bisakah kau memadamkannya ?

Sol
Maka aku tidak perlu kau bisa menyaksikanku. Aku tidak perlu matamu untuk memandangku.
Bukankah cinta memang buta? Cinta tidak perlu mata. Cukup telinga untuk mendengarkan apa kata suara. Suara cinta.
Aku juga tidak perlu telinga. Bukankah cinta juga tuli? Cinta juga tidak perlu telinga untuk mendengarkan terlalu banyak kata-kata. Cukup hati yang bicara. Bicara cinta. 
Jadilah kita sepasang kekasih yang diam-diam saja di sini. Seperti penulis tuli yang jatuh cinta kepada pianis buta. Memang tidak perlu ke mana-mana bukan? Bukankah kau selalu mendengarkanku seperti aku setia menyaksikanmu?

La
Matamu adalah mata lelaki yang memanah matahari. 
Bidikanmu tepat mengenai jantung matahari. Meledak jatuh menghujanimu dengan pijar-pijarnya. Ada letupan yang jatuh dimatamu.
Sangat menyilaukan sampai kau tidak mampu melihat yang lain kecuali kemilau. Letupan lain menembus hatimu. Meluluhkan. Maka beku di hatimu menjadi banjir. Membanjir sampai ke hatiku juga. Lalu aku hanyut mengalir di banjirmu.

 Si
Tidak ada cinta yang pilu. Cinta selalu merdu. 
Aku gembira bila bisa membuatmu gembira. 
Tapi, apakah kau masih akan cinta padaku? Bila kau bisa meraba parut di seluruh wajahku? 
Oh, kau membuatku ingin menangis!
Aku takut rindu ini akan menjauh. 
Aku takut kehilanganmu! 


Do
Aku takut kau berhasil membacaku. Lalu kau tahu bahwa aku cuma sebuah cerita usang yang tidak menarik. Aku cuma sebuah buku kumal, lecek, berdebu dan sudah sobek-sobek. Kau pasti malas untuk membacaku sampai halaman terakhir. Mungkin kau hanya sampai pada halaman-halaman pertama, lalu kau akan menghentikan dan menggeletakkannya.
Kupejamkan mataku untuk mengatasi rasa takutku.  
Aku tidak siap bila harus kehilanganmu.
Kemudian, kau mainkan lagu di atas rambut, kening, mata, bibir, dada, sampai kakiku. Kau membuatku menukik ke tangga nada tertinggi dan meluncur ke tangga nada terendah. 
Gemetarku karena nada-nadamu yang kejar mengejar itu.


Do re mi fa sol la si do
Ketika kau selesai membacaku, rasanya, aku mendengar desar yang menjadi sonata paling indah.

Karya : Lan Fang  (Cerpen Indonesia Terbaik 2009)
 

1 komentar:

  1. awang awang akan terus mengawang separuh benderang dan separuh petang silih berganti tiada henti hingga tiada lagi yg memiliki hati :D

    BalasHapus