Jumat, 23 Desember 2011

Mother's day


MOM
 
From the beginning
Mom is there
To clean sticky fingers,
Wipe away tears,
And kiss away boo~boos.
Through the years
She softens life’s inevitable blows
And sheds her
Light of kindness
Along life’s pathway
Thank you Mom!




Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah untuk anak-anaknya. Dengan tekad untuk tetap dapat menghidupi keluarga, ibu mencari nafkah dengan berjualan sayur yang dibelinya dari hasil kebuh tetangga untuk dijual di pasar.

Beberapa tetangga yang melihat kehidupan kami yang begitu susah, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi demi menjaga perasaan serta untuk mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepada anak-anaknya, ibu tidak mengindahkan nasehat mereka. Ibu berkata “Saya tidak butuh cinta.” Inilah kebohongan ibu yang pertama. Acap kali ketika saat makan, ibu memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata, “Makanlah nak, aku tidak lapar.” Inilah kebohongan ibu yang kedua.

Ketika aku mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingannya, ia dapat memberikan sedikit makanan bergizi untuk pertumbuhan anak-anaknya. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk di sampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Melihat ibu seperti itu, dengan menggunakan sendok aku memberikan seluruh sisa ikan yang ada pada piringku kepada ibu. Tetapi dengan cepat ibu menolaknya, “makanlah nak, aku tidak suka makan ikan.” Inilah adalah kebohongannya yang ketiga.

Ketika aku masuk SMP, demi membiayai sekolahku dan kedua saudaraku, ibu sering sekali pergi ke koperasi sekolah. Dengan menjual anyaman rumbia ibu mendapatkan uang untuk kehidupan kami. Saat musim hujan tiba, aku sering terbangun dari tempat tidurku karena hawa dingin yang menyengat tubuhku. Kulihat ibu yang hanya bertumpu pada lampu tempel, tetapi dengan gigih melanjutkan pekerjaannya merajut rumbia. Aku berkata, “Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih harus berjualan ke pasar.” Ibu tersenyum dan berkata, “cepatlah tidur nak, aku tidak lelah.” Inilah kebohongan ibu yang keempat.

Pada waktu ujian tiba, ibu memutuskan untuk berjualan, supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika lonceng tanda ujian berakhir berbunyi, ibu dengan segera menyambutku. Ia menuangkan the yang sudah disiapkan dalam botol dingin untukku. The yang begitu kental, tapi tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayangnya yang jauh lebih kental. Melihat ibu berbanjir peluh, aku segera memberikan gelasku kepada ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata, “minumlah nak, aku tidak haus!” Inilah kebohongan ibu yang kelima.

Setelah kami sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua, sudah waktunya berhenti bekerja. Ibu tidak mau. Ia rela untuk tetap pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur. Kakakku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu. Ia tetap bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata, “ibu masih punya uang.” Inilah kebohongan ibu yang keenam.

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan kuliah S2. Aku memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu dengan gaji tinggi. Aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata, “aku tidak terbiasa tinggal di kota besar.” Inilah kebohongan ibu yang ketujuh.

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung dan harus dirawat di rumah sakit. Aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu terlihat sangat tua, menatapku dengan penuh kerinduan. Aku melihat senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga terlihat lemah dan kurus kering. Aku menatap ibuku sambil berlinangan air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya bekata, “jangan menangis anakku. Aku tidak apa-apa.” Inilah kebohongan ibu yang kedelapan. Setelah mengucapkan kebohongan yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

Sebelum terlambat, luangkanlah waktu untuk mengucapkan, “terima kasih ibu.” Ini akan sangat menentramkan hatinya. Meluangkan waktu untuk sekedar berbincang dengan mereka merupakan kesempatan yang akan menyenangkan hati mereka. Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah dan ibu kita dalam kesepian. Kita biasanya lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah, jika dibandingkan dengan teman dekat kita. Kita pastinya lebih peduli dengan teman dekat kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar teman dekat kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan keadaan orang tua kita? Apakah orang tua kita sudah makan atau belum? Apakah orang tua kita sudah bahagia atau belum? Jika demikian, mari merenung dan mengubah perilaku kita kepada mereka. Mari memberikan yang terbaik.

On based True Story ~ Belly Lesmana

Sabtu, 17 Desember 2011

"Tulisan Malamku"

 Ku tuturkan dalam bahasa lugas tanpa lafas
tergugu beku mencumbu malam dalam dekapan
rindu puisi malam
Ada yang terlepas dari dasar jiwa , cintanya dan
pemujanya

Bergulir sayup-sayup desau risau angin
membelai wajahku yang pucat pasi
Dari bayangan sejuta angan kutahu semua
terhampakan

Kembali kututurkan satu-satu bahasa dalam
kalbuku
Mencuri jauhnya jiwa yang pernah termiliki dan
yang kini terlepaskan
Tak tergeming meski hujahan rindu puisi malam
aku hantarkan
lewat sayap-sayap kecil kelelawar malam


Hambakan sebuah fatamorgana yang dulu
tercipta
Tersabit tajam belati ngilu dirasa tak juga terkata
Bentangan kabut malam menjemput peraduan
bisu disetiap lengkuhan nafas terjagaku


Cicit burung tidurkan ilalang di padang yang gelap
Membatasi pandangan antara kehadiran
bayangan yang terpasung di kegelapan
Rebah di puncak kekalutan akan sebuah
kehilangan
Kututurkan satu desahan lelahku
Rinduku beradu menyalak bak serigala yang lapar
namun rindu ini terkubur kembali dalam gulita
malam
puisi malam hanyalah gugahan jiwaku yang
terjerembab dalam gelap kehidupan sesaat




Kamis, 15 Desember 2011

All about "capung"



Pada sebuah lomba "Mengarang Dempo Dragonfly Society (Indonesia)"
On 19 April 2011

....
(Walo kalah tapi masih bs tersenyum..sebuah pengalaman yg unik)

CAPUNG...KEMANA KAU AKAN KUCARI..?

Pernahkah kamu melihat capung...? Tentu pernah. Tapi, itupun hampir lepas dari perhatian kita. Mungkin karena bentuknya yang kecil dan terlihat sangat cepat untuk terbang. Jangankan kalian. Keponakanku pun dulu pernah dibuat heran dengan binatang yang satu itu.

Keponakan : Eeeh...itu binatang apa tante..? (waktu itu Kiki masih TK A)
Sang Tante : “Itu capung, Ki.”
Keponakan : “Capung binatang apa tante..?
Sang Tante : ....????? (aduh...mesti jawab apa saat itu..he..he..he..refrensi tentang capung benar-benar aku tidak tahu. Yang aku tahu selama ini, capung adalah gantrung (bahasa Jawa) yang sering ditangkap oleh anak-anak untuk dipasang benang pada ekornya. Hi..hi..hi..)

Sore itu.. saat berjalan memasuki sebuah toko, kami melihat lagi sebuah iklan yang ditempel pada sebuah pintu masuk, yang besarnya segedhe-gedhe umat (he..he..he..), betul-betul menarik perhatianku. Dempo Dragonfly Society Indonesia benar-benar mengingatkanku tentang binatang kecil itu. Sedikit demi sedikit, aku sudah mengenal tentang binatang kecil itu. Tapi, kemana akan kucari...?

Setahuku, capung sering dijumpai di daerah persawahan. Tapi, kadang-kadang juga muncul di lingkungan perkotaan. Kehadirannya sering kali dilupakan orang. Padahal, capung ternyata..merupakan indikator suatu wilayah yang bersih.

Di sini, aku tidak membahas capung secara ilmiah. Karena aku yakin, kemampuan anak-anak muda sekarang jauh lebih hebat bila dibandingkan dengan jamanku sekolah dulu. Referensi yang didapat juga beragam. Bisa didapat dari browsing di internet, dari majalah flora fauna sampai buku-buku yang tebalnya bisa melebihi novel-novel yang pernah aku baca. He..he..he Jelas aku tertinggal jauh (melas.com). Begitu juga dengan mengamati binatang yang dapat terbang dengan cepat itu, jelas aku tidak punya waktu. Waktuku banyak tersita dengan kegiatan khas wanita karier (hi..hi..hi..gaya) dan sebagai babysiter waktu cuti (T-T). Rasanya waktu 24 jam tidaklah cukup, inginnya semua diselesaikan dalam waktu yang bersamaan. Weh...memang maruk.com yaaa....

Tulisan yang ingin aku tuangkan disini bukan bersifat esai, atau sejenisnya. Dengan berbekal pengetahuan dan ketrampilan yang aku miliki, aku ingin agar masyarakat lebih mengenal dan menyadari kehadiran mereka (capung) di tengah-tengah kehidupan kita. Akan lebih baik lagi bila dapat menjadi referensi buat generasi muda yang juga menyukai kegiatan ini.

Malam hari..., saatnya beraksi, akupun mulai mengutak-atik berbagai manik-manik yang aku punya agar dapat aku jadikan sebuah hiasan (hasil hunting di pasar modern blok M). Terinspirasi dari beberapa bentuk, warna dan macam capung, maka dengan sedikit keahlian yang aku miliki, aku mencoba menuangkannya dalam bentuk karya seni. Tentunya setelah browsing dari berbagai situs atau web. Harapan aku..akan tercipta sebuah bentuk bros yang bisa disematkan pada baju, jilbab ataupun sebagai hiasan souvenir.

Pertama-tama, aku mencari gambar-gambar tentang capung. Ternyata ada banyak warna dan jenis. Ini beberapa jenisnya..(mohon koreksi bila salah yaa...he..he..he..)
                                          
Neurothemis sp.

Sengaja aku ambil gambar capung dalam beberapa pose atau gaya. Dari jauh, dari depan malahan close up. Wuih..bak peragawati aja yo. Tapi, bener, capung ternyata memang cantik dan anggun. Jadi terpesona nii...

Tujuanku, agar aku mendapatkan detail dari bagian-bagian dari capung. Yang nanti akan aku kreasikan dalam sebuah souvenir atau hiasan. Bongkar pasang, sudah pasti akan menjadi andalan.


Bila capung mempunyai fase-fase dalam metamorfosis sebelum menjadi capung dewasa, maka dalam merangkai souvenir inipun, capung tiruanku juga mengalami hal yang sama.

Subordo Anisoptera
 Pertama-tama aku memilih warna yang mewakili kecantikan dan bentuk, aku memilih mutiara-mutiara kecil dengan warna pink. Dengan sedikit bantuan kawat (bukan kawat jemuran lo..hi..hi..hi..) aku memasang untuk antenanya. Untuk sayap, aku mengambil manik-manik daun. Karena sekilas, memang terlihat seperti bentuk sayap. Bukankah capung juga suka hinggap pada daun-daun di pekarangan rumah.? Sepertinya tidak salah bila aku mengaplikasikannya pada manik daun.
Masing-masing ada 2 pasang.


Untuk kaki yang panjang, aku coba memakai kawat. Tapi, sepertinya kawat bukan ide yang bagus. Karena akan terlihat aneh (malah mirip dinosaurus lo..)

Close up "capung"

Sekarang, saatnya merangkai manik-manik. Sudah aku duga, bongkar pasang memang tidak bisa dihindari. Tiba-tiba aku sadar, betapa besar Tuhan menciptakan mahklukNya. Kita manusia benar-benar tidak bisa menirunya. Manik demi manik aku rangkai, kawat juga sudah diuwer-uwer untuk mendapatkan bentuk yang indah. Butuh perjuangan ! Semangat ! Bentuk kepala, badan, ekor dan antena sudah terpasang. Tinggal media tempat capung tiruan nongkrong. Terpikir memang, seekor capung yang terbang dengan cepat, sehingga tidak salah bila orang Jepang mempunyai ide untuk membuat pesawat capung. Tapi, capung tiruan ini tidak bisa terbang dengan cepat. Yang aku inginkan, capung tiruan ini dapat berpindah tempat, bukan terbang. Dengan harapan orang akan memperhatikan kehadiran dan kecantikannya. Jiaahh... Tempat bros, jadi pilihan. Aku ikat capung itu pada media tempat bros. Mengikatnya harus benar-benar erat, agar tidak goyah dan jatuh. Rapikan ikatan kawatnya sebelum ditutup.


Setelah melalui perjuangan yang cukup dengan mengotak-atik manik dan kawat, akhirnya... Taaaraaa....


Sayangnya, belum ada model yang memakai bros capung tiruan ini. Sekedar promosi. Inginnya siih disematkan pada busana pribadi. Tapi, takut dibilang narsis. He..he..he..
Bisa dibayangkan, bila capung tiruan ini akan eksis di tengah-tengah masyarakat. Jadi, tak akan ada lagi pertanyaan...capung..kemana kau akan kucari..?

======00000=======

U.s.i.a

The Beatles bernyanyi seperti ini: “If you still need me, you have to feed me until I’m 64.” Terjemahan gaulnya kira-kira begini: “Masih butuh aku? Ya, kasih makan donk sampai usiaku 64 tahun!”

Teman saya bertanya: kenapa hari gini nulis tentang umur? Sebab, setiap hari pasti ada ada yang merayakan ulang tahun. Dan merayakan ulang tahun berarti usiapun bertambah. Dalam gemuruhnya lagu Happy Birthday, masih ada refleksi kecil tentang usia, yaitu rasa syukur kepada Tuhan untuk hadiah istimewa, yakin setiap pagi masih boleh melihat matahari terbit.

Bicara soal usia, susah-susah gampang. Di dunia Barat, tak pantas menanyakan usia pada seorang wanita. Kata orang, usia bagi wanita itu rahasia, seperti rahasianya isi dompet kaum pria. Siapa tak suka bila disapa, “Aduh, awet muda, ya!” Padahal, suka tak suka, setiap kali kita bangun pagi, usia kita bertambah sehari. Dalam bahasa sastrawan, usia diibaratkan sebagai “seseorang yg sopan” yang senantiasa mengetuk pintu kita. Tetapi siapa dari kita yang mau menjawab “silahkan masuk?” Namun orang sopan itu tak mau berlama-lama di depan pintu. Tanpa kita sadari, ia sudah menjadi bagian dari diri kita. Memang semua orang yang hidup akan menjadi tua. Itu hukum alam. Hanya satu hal yang tidak menjadi tua, yaitu cinta, kata Blaise Pascal, filsuf Perancis. Usia tinggi tidak menjadi kendala untuk berprestasi dan senantiasa kreatif. Komponis Verdi menghasilkan mahakaryanya, Don Carlos, pada usia 68 tahun, dan Othello sewaktu ia berumur 72 tahun.

Senin, 05 Desember 2011

Sembunyi

Hari ini ... dia datang lagi.
Aku merasakan sesuatu saat aku menatap matanya.
Kenapa perasaan ini semakin rentan?
Aku ingin selalu bertemu dia lagi, banyak yang ingin aku tanyakan, 
dan sepertinya akupun harus bercerita banyak padanya.
Aku merasa, aku sudah lama mengenal dia, tapi dimana..??
Ada sesuatu antara aku dengan dia yang belum bisa aku tebak. 

Rasanya aku ingin sekali menghukum perasaanku yang tidak benar ini.
Aku berada diantara perbatasan, aku tidak ingin tersesat.
Aku ingin tertidur di atas perapian hingga terbakar hangus tanpa jejak.
Aku tidak mau menghidari kenyataan ini,
tapi aku ingin menyalakan lilin diantara koridor hati yang sangat gelap.
Aku harus menemukan jalan itu, aku harus keluar dari sini.

….

Seharusnya jangan biarkan cinta itu pergi.
Alangkah bahagianya bila hidup dicintai seseorang.
Karena tidak banyak manusia yang bisa mencintai dengan tulus.
Memberikan cinta pada seseorang itupun bukan hal yang mudah untuk dijalani.

Jangan pernah berpaling dari malaikat yang terbang dan hinggap di hati dengan membawa seribu cinta. Jangan pelihara kesombongan hati yang akhirnya akan membuahkan penyesalan yang mendalam.

Hidup memang tidak pernah tenang.
Kecuali bila kita menutup mata untuk selamanya.

Cintailah dia yang mencintaimu.

Selasa, 29 November 2011

Suara

 
Pengecut!! Suara itu menuding-nuding dadaku sampai terasa terkapar seperti jangkar yang terlempar. Tapi aku tidak peduli dengan suara itu. Padahal, aku tahu suara itu dari bilik-bilik tersembunyi di dalam lubuk hatiku.

Kemudian suara-suara itu bertalu-talu menimbulkan bunyi-bunyi riuh rendah, ada yang nada ejekannya semakin sinis, intonasinya semakin meninggi, lalu ada yang berbentuk sumpah srapah, bahkan terkahir sedu sedan. Ada suara laki-laki, perempuan, rengekan anak kecil, sampai suara parau lelaki renta. Suara-suara itu begitu mengangguku. Karena tidak bisa kutulikan. Mereka membututiku kemana aku pergi. Ah, enyahlah kalian, suara-suara! 

Hari ini, aku mulai mendengar suara-suara lagi. Mula-mula Cuma suara mendesis pelan, tetapi lama-lama mulai semakin keras. Suara-suara itu bukan lagi seperti dulu. Aku tidak mendengar suara mengejek, marah-marah, memaki, sumpah serapah, atau menangis tersedu-sedu. Yang kudengar justru suara tertawa. Dari suara cekikikan sampai terbahak-bahak.

Kucoba untuk membungkam suara tawa itu dengan berjalan-jalan keliling kota. Mungkin bunyi suara angin bisa membungkamkannya.

Lalu berhari-hari ke depan, semakin aneh. Setiap aku melangkah, aku mendengar suara-suara tawa itu. Semakin lama semakin keras. Menderu-deru seperti angin puyuh. Semakin lama semakin banyak yang tertawa. Semestinya aku bisa saja ikut tertawa. Bukankah tertawa itu adalah pahala? Tertawa adalah lambang kegembiraan. Kenapa aku tidak ikut tertawa saja?

Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Karena kulihat, mulut-mulut di sekelilingku justru sedang terkatup rapat. Tidak ada seorangpun mengeluarkan kata-kata. Kota menjadi sunyi seperti menjadi kota mati. Yang ada hanya suara deru debu jalanan. Mereka, bahkan tidak berbicara satu sama lain. Kalaupun bertemu hanya mengulas senyum, mengangkat alis, atau melengos dengan tatapan datar.

Kosong

Gema itu memanggilku!
Yang kulihat, gema itu bergaung dari gumpalan asap yang berpendar dengan cahayanya yang muram. Kadang membentuk sesuatu, kadang tidak berbentuk, kadang mencari sesuatu.
Ia adalah sesuatu yang gentayangan. Ia berada di sebuah tempat dimana aku banyak sekali berpapasan dengan orang-orang yang hilir mudik, lalu lalang, mondar-mandir dengan bentuknya yang beragam.Namun, mereka sama sekali tidak peduli denganku. Mereka tidak menyapa dan tidak menoleh kepadaku. Mereka saling menyapa, saling memeluk, saling mencium, diantara sesama mereka.Padahal, aku sudah berusaha menggapai, memanggil, dan menyentuh mereka. Apakah mereka tidak melihatku? Kenapa dengan diriku? Bukankah aku juga memiliki yang mereka miliki.?
Dan mendadak saja, aku menemukan diriku kosong di sini. Tetapi, bukankah kosong justru memberiku ruang lebih untuk mengontrol kekosonganku. 
Jangan terbang mengawang. Tetapi kepakkan sayap. Jangan sekedar mengalir. Tetapi berenang mengambang.

Tapi, aku bergerak liar mencari diriku. Dan kudapati diriku enteng seperti sebuah zat yang menguap. Tidak ada satuan-satuan. Tidak ada kepala, tidak ada tangan, tidak ada kaki dan tidak ada kelamin. Aku seperti uap yang menguap dari air laut, air sungai, air got. Lalu mengembun di putik bunga, di ujung bianglala, di ladang ganja. Kemudian berserakan di tirai hujan, menjadi kental di ujung liang. Aku menjadi bagian dari molekul-molekul udara. Tertiup putting beliung yang melebihi kecepatan cahaya kilat. Tersedot besi sembrani dengan magnet berkekuatan jutaan kutub. Menjadi serpihan atom yang dimuntahkan oleh lahar kehidupan.

Sungguh! Aku merasa tertimbun dosa dari himpunan sampah. Seorang teman bernama Imam, mengatakan bahwa aku mencobai Tuhan karena aku mengoceh dengan nada protes kepada Tuhan. Sebagaimana seorang imam, ia bertutur bahwa seyogyanya aku bersyukur atas semua yang diberikan Tuhan kepadaku sepanjang hari. Bukannya hanya bisa mengeluh dan protes atas kesulitan-kesulitan yang melilit berupa tumpukan utang, biaya hidup membengkak, sampai gaya hidup yang tidak jelas. Tidak bisakah mulutmu mengeluarkan pujian untuk Tuhan? Jangan mencobai Tuhanmu, imam menasehatiku agar menjadi perempuan yang santun.

Minggu, 27 November 2011

T.a.k.d.i.r





videokeman mp3
Dear God – Avenged Sevenfold Song Lyrics


Lyrics of Dear God – Avenged Sevenfold

A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love purpose hard to find
While I recall all the words you spoke to me
Can’t help but wish that I was there
Back where I’d love to be, oh yeah

Dear God the only thing I ask of you is
to hold her when I’m not around,
when I’m much too far away
We all need that person who can be true to you
But I left her when I found her
And now I wish I’d stayed
’Cause I’m lonely and I’m tired
I’m missing you again oh no
Once again

There’s nothing here for me on this barren road
There’s no one here while the city sleeps
and all the shops are closed
Can’t help but think of the times I’ve had with you
Pictures and some memories will have to help me through, oh yeah

Dear God the only thing I ask of you is
to hold her when I’m not around,
when I’m much too far away
We all need that person who can be true to you
I left her when I found her
And now I wish I’d stayed
’Cause I’m lonely and I’m tired
I’m missing you again oh no
Once again

Some search, never finding a way
Before long, they waste away
I found you, something told me to stay
I gave in, to selfish ways
And how I miss someone to hold
when hope begins to fade…

A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love purpose hard to find

Dear God the only thing I ask of you is
to hold her when I’m not around,
when I’m much too far away
We all need the person who can be true to you
I left her when I found her
And now I wish I’d stayed
’Cause I’m lonely and I’m tired
I’m missing you again oh no
Once again

Listen to Songs: http://videokeman.com/avenged-sevenfold/dear-god-avenged-sevenfold/#ixzz1ezuvKYEw

Sebuah teka teki

Blackberry Messenger, Yogyakarta, November 2011

Sebentar lagi Malam,
Langit berwarna kelabu. Entah karena memang terang siang telah memudar dan warna senja mulai menebar. Atau karena curahan gerimis bagaikan ranting-ranting patah dari kolong langit. Selalu begitu, bila menjelang malam.
Seakan-akan dingin melengkapi kesempurnaan geliat gelisah dan kerinduan. 
Berpacu dalam desir-desir getaran darah sewarna kirmizi yang tidak mampu kukendalikan. Berlomba dengan rancak hip-hop yang berkumandang.


Lalu kangen itu membanjir
Kangen. Kangen. Kangen.
I am missing you…
…………
Sebentar lagi Malam.
Tidak mudah untuk melupakan.
Juga sulit untuk memaafkan
Kalau cinta, maafkan.
Tapi luka.
Kalau luka, lupakan.
Tapi kecewa.
Maafkan luka, lupakan kecewa.
Is it love? 



 
Aku luka.
Aku suka padanya, sungguh apa adanya. Kenapa ia membuatku luka?
Kalau begitu lupakan!
Aku tidak bisa lupa. Aku tahu ia suka  padaku.
Kalau begitu maafkan..
Tidak bisa! Aku kecewa seperti jangkar yang terkapar.
Kalau suka, memaafkan..
Atau..
Kalau cinta, melupakan..
Semua tidak bisa.
Luka. Cinta. Lupa.
You hurt me.. 
 
Tetapi sekarang yang menguap hanya rasa sepi.
Sepi. Sepi. Sepi.
I am dreaming of you…
Aku tetap sendirian.
Sepi. Sunyi. Senyap.
Where are you?

Pro : .. .. ??
Aih..aih..??
(Semoga selalu ada miracle!) 

Selasa, 15 November 2011

Que Sera Sera


……..
When I was just a little girl I aked my mother, what would I be
Will I be pretty, will I be rich, here’s what she said to me
Que sera sera, what ever will be will be
The future’s not ours to see, que sera sera, what will be will be

(lirik lagu oleh Ray Evans, musik Jay Livingston, menjadi sangat terkenal ketika dinyanyikan Doris Day pada film The Man Who Knew Too Much, 1956.) 

Petikan lirik di atas secara tegas menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara anak dan orang dewasa
Berbeda dari orang dewasa yang sudah mendapatkan apa yang dikehendakinya, anak justru datang mencari apa yang tersedia baginya dan sepanjang jalan perkembangannya bertanya: “akan menjadi apakah saya?” 
Dalam hal ini, orang dewasa sudah selesai, sedangkan anak-anak baru memulai perjalanan hidupnya. Dengan demikian anak dapat disebut sebagai manusia belum jadi, yang sedang dan wajib bertumbuh. 
Pada lirik di atas, perbedaan antara anak dan orang dewasa itu diperuncing oleh sikap fatalis orang dewasa. Sikap itu sesungguhnya merujuk pada pengakuan bahwa masa depan bukanlah milik orang dewasa. 
Karena masa itu, seperti dikatakan Khalil Gibran, adalah milik anak yang “justru lahir untuk merebut kehidupannya” 

Terlepas dari  perbedaan itu, yang jelas masa depan juga ditentukan oleh ilmu. Karena kita tahu keilmuan itu seperti air, dia berbentuk sesuai dengan wadah, tergantung akan dibentuk apa oleh yang punya tempat.
Keilmuan kalau ditempatkan di akal dan pikiran akan menjadi sebuah pengetahuan, dan bila  keilmuan di tempatkan di hati akan menjadi penjaga dan penuntun. 

So..masihkah ada masalah dengan que sera sera saat ini..??

Tentang Buah Pena

Pada sebuah karikatur: ujung bedil dan ujung pena beradu. 
Mana yang kalah..?? Jawabnya; pasti bedil yang kalah dan yang menang adalah ujung pena. Mengapa? Karena bedil cuma berdentum, lalu habis, sedangkan pena berbuah tanpa bunyi dan bisa dinikmati.


Bila pena sudah berbuah, ada yang senang karena disanjung, tapi tak sedikit yang khawatir merasa disindir. Majunya sebuah negeri tidak hanya diukur oleh alat-alat elektronik yang canggih atau komputer yang super. Maju atau “dalam”nya sebuah negeri justru diukur oleh kesusastraannya. 
Inilah kekayaan rohani negeri manapun. Teknik boleh terus maju, tetapi roh harus tetap hidup dan jaya. Roh semacam ini tersembunyi di dalam sastra, perbendaharaan negeri yang harus dipupuk.


Buah pena memang luar biasa. Walaupun berkali-kali dimakan api, dilarang beredar, masuk daftar hitam, atau diapakan saja, sekali lahir, buah pena tak mengenal usia, rohnya tetap hidup. 
Bisakah anda memberikan contoh paling nyata dari buah pena yang entah berapa tahun usianya.??