Teman saya bertanya: kenapa hari gini nulis tentang umur? Sebab, setiap hari pasti ada ada yang merayakan ulang tahun. Dan merayakan ulang tahun berarti usiapun bertambah. Dalam gemuruhnya lagu Happy Birthday, masih ada refleksi kecil tentang usia, yaitu rasa syukur kepada Tuhan untuk hadiah istimewa, yakin setiap pagi masih boleh melihat matahari terbit.
Bicara soal usia, susah-susah gampang. Di dunia Barat, tak pantas menanyakan usia pada seorang wanita. Kata orang, usia bagi wanita itu rahasia, seperti rahasianya isi dompet kaum pria. Siapa tak suka bila disapa, “Aduh, awet muda, ya!” Padahal, suka tak suka, setiap kali kita bangun pagi, usia kita bertambah sehari. Dalam bahasa sastrawan, usia diibaratkan sebagai “seseorang yg sopan” yang senantiasa mengetuk pintu kita. Tetapi siapa dari kita yang mau menjawab “silahkan masuk?” Namun orang sopan itu tak mau berlama-lama di depan pintu. Tanpa kita sadari, ia sudah menjadi bagian dari diri kita. Memang semua orang yang hidup akan menjadi tua. Itu hukum alam. Hanya satu hal yang tidak menjadi tua, yaitu cinta, kata Blaise Pascal, filsuf Perancis. Usia tinggi tidak menjadi kendala untuk berprestasi dan senantiasa kreatif. Komponis Verdi menghasilkan mahakaryanya, Don Carlos, pada usia 68 tahun, dan Othello sewaktu ia berumur 72 tahun.
Ketika saya menghadiri ulang tahun seorang ibu yang berusia 84 tahun, ia berkata, “Bayangkan, semua anggota tubuh ada istirahatnya, tetapi jantung tidak pernah. Dan jantungku tetap setia bekerja selama 84 tahun nonstop. Apa itu bukan kebesaran Tuhan?”
Ada satu hal yang selalu saya bawa pulang dari setiap perayaan ulang tahun panjang atau pendeknya usia kurang penting yang paling penting ialah bagaimana kita mengisi hari-hari kita dengan berguna bagi semua.
Karena dalam praktek, nilai-nilai kemanusiaan yang sejati tidak akan berlawanan, tetapi justru merupakan ungkapan dari nilai-nilai keagamaan dan ketuhanan yg membumi.
....sebuah renungan pada my bithday....(on October 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar