Rabu, 23 Mei 2012

H.1.M

Tomorrow and today are the same for me
I still need him to be happy
And this is my destiny
That's what I always see

But what kind of man is he
I really don't know exactly
He said, I am so sweety
But he never gave identity
Makes me still confuse maybe
I know he is so lovely
Last night I saw him by the sea

Maafkan aku
karena telah mencintaimu lebih dari seharusnya
karena telah menunjukkan cintaku
dengan cara yang tidak pernah bisa engkau baca

Sebab
Telah kuikat erat-erat kedua sayapku
agar tak mengepak dan membawaku terbang
lebih jauh dari tempatku bersembunyi

Telah kututup rapat-rapat bilik hatiku
agar tak tembus kehangatan lain selain kehangatanmu

Telah kurekatkan serekatnya tiap sudut bingkai hidupku
agar cukup sudah cinta, sepenuhnya.

Telah kukatupkan rapat kesepuluh jariku, serapatnya
agar lebih lama terasa hangat jari-jarimu

Tapi
aku harus cepat pergi dari hatiku sendiri
aku harus menusuk tajam jantungku
sebab cinta ini lebih kuat dari kehidupan
bahkan dari kehidupanku sendiri
aku tak lagi mampu membuatku hidup

Aku menunggu bisu malam
menjemputku pulang
 

Notes di Facebook 23-05-2012
(--pada sebuah mimpi--)

Selasa, 22 Mei 2012

Kamu, untukku





Aku belajar membaca hatimu
dengan segala detak kasihmu yang mengaliri setiap nafas hidupku.
Bersayap, menebar kelopak bintang
untuk menjagai dan mewarnai serat hari-hari.
Membiarkan langit melindungi harapan
karena langit tak pernah punya titik
dan udara memberi tenaga untukku tanpa meminta.

Seperti saat matahari memberikan nadinya dan bulan menciptakan doa
begitulah kamu menyerahkan hidupmu
untuk menjadikan aku seorang yang berhati,
bisa mengerti tentang kasih dan cinta.

Dengan sederhana, kamu mengajarkan padaku
bagaimana menghargai setiap yang baik sampai ke keindahan yang patah.
Disemua warna, kamu tak mengijinkan aku diam seutuhnya.
Sesulit apa melihat warna pada air, di doanya akupun dapat merasakan.
Dibuatnya buku dan pengetahuan buatku.
Serta dianyamnya kebaikan yang seimbang dengan keajaiban.
Diraciknya semua bahan dan bumbu kehidupan
sehingga aku dapat menikmati apa pun rasanya dan bagaimana hikmahnya.
Antara siang dan malam tak ada batas menjalin tangannya.
Ada ketika minta, ada ketika tak meminta.

Jika terkadang petir menjadikan hujan, itu adalah poses,
begitu selalu katanya.
Mengapa tak saja bijaksana menikmatinya.
Tanpa amarah tanpa merah.
Karena apa yang telah terjadi kemarin
bisa beribu makna untuk masa nanti.
Tahu, jika hari dalam hitungan yang sempurna.
Termasuk dalam pembelajaran tentang hidup,
tentang akar yang mengalirkan napas pada batang, daun dan bunga.

Ketika matahari telah berganti entah untuk ke berapa,
tiba-tiba sinarnya tergeletak ke tanah.
Sekuat tenaga,
aku berusaha mencari kupu-kupu putih bersayap lebar untuk menopangmu.
Tak mampu.
Bukannya membentang taman untuk menyandarkanmu,
tapi seringkali aku yang membakar daun
hanya karena aku merasa lelah membawamu pada kesembuhan.

Bergumam tanpa suara, kamu menyembunyikan kesahmu,
mengubur ekspresi dalam pusaran mimpi yang panjang.
Walau begitu pedihnya kesakitan itu mengaliri raga dalam hirupan.
Belum lagi sempat kubawa istana biru untukmu,
tak ada lagi udara dalam sosokmu.
Aku kehilanganmu.
Meski katamu, kita tak berpisah, hanya tak mungkin lagi bertemu di sini lagi.

Aku belajar membaca hatimu sampai detaknya telah terhenti.
Begitulah caraku mencintaimu.
Karena telah kuberikan segala cintaku dalam genggamanmu.
Dan setengah napasmu ada dalam tubuhku.
Terima kasih untuk kasihmu yang abadi, tak akan pernah henti.

RIP -- In memoriam --
--TDW-- 

Selasa, 01 Mei 2012

Nyanyian Seorang Lelaki Bungkuk



Oleh : Ang Jasman ..

Lihat! Seorang pejalan malam dipanggang bening subuh
bungkuk tubuhnya memikul kerinduan teramat panjang
sepasang kakinya yang kering dengan setia meniti jalan jelaga.
Tak peduli dingin membekukan arah pulang
api di dadanya membakar reranting yang merintang
selalu terbetik harap di dasar ruh menguak tabir halimun.

Dikuatkannya tekadnya di penghujung sisa napas buat menyudahi langkah
sekujur tubuhnya basah kepasrahan yang tak sudah seperti ricik hujan
setia menggantikan kemarau kembali membasuh bumi.

Di penghujung sisa nafas tinggal satu
mentari dari Tabriz menyapa dengan silaunya
juga senyum lembut Jalalluddin Rumi murid terkasihnya .

Ada juga kepak anggun rajawali al-Hallaj dan Siti Jenar
berkalung darah, cinta dan kepasrahan atas nama kasih
seperti Jatayu tersungkur di birahi angkara Sang Rahwana.

Khaidir dan Rabiah al-Adawiah bawa kendi air cinta kasih
pemuas dahaga jiwani penyilih debu-debu duniawi.

Lihat! Seorang pejalanan dengan kaki kering penuh borok
tak serahkan langkahnya meski orang-orang suci itu membasuh dosa
dengan kasih mereka yang tulus.

“Biarkan tubuh busuk ini tersungkur di kakinya dimana debu
lebih lezat dari makanan para raja dunia
lebih indah dari mahkota baiduri para puteri istana.
Kan kulunaskan rinduku dalam tatapannya dibakar agung wajahnya.
Tinggalkan saja aku disini di kaki bukit dan tepian mata air ini
berselimut kabut beralas angin dingin.
Gigil tubuhku adalah tarian ruh paling gemulai.
Gemerutuk gigiku adalah tembang pujian paling merdu.
Kusilang sudah separuh bumi di angin beku dan kemarau
takkan pernah kupinjam langkah kalian.
Terik dan api mentari menyegarkan dadaku
ricik dan air bah mengurai keringatku.
Tinggalkan saja aku disini di jalan yang menjadi bagianku
berteman bulan dan bintang-bintang yang selalu setia menemaniku.”

Syahdan, para suci itu terus mengayun langkah pujian
berjubah cahaya kemuliaan Sang Penyayang
tapi hati mereka tertinggal di dada lelaki bungkuk itu.

Jalan ini memang milik sendiri yang mesti ditempuh
dengan kaki sendiri dan hati meski jarak tak tampak mata
memasuki kuping sendiri menemui Sang Dewa Ruci.

For, someone..
(..kiranya ketabahan telah menjadi milikmu untuk teguh membawa kerinduan itu pada bidadarimu..)
Luv..peace..nd regreat